Setiap orang memiliki hobby dan destinasi favoritnya tersendiri. Tidak terkecuali hiking dan camping. Pendakian gunung merupakan kegiatan yang tidak asing bagi para pegiat alam, terutama bagi mereka yang gemar melakukan petualangan di hutan dan gunung.

Di Indonesia, pendakian gunung bukanlah hal yang tabu. Jauh sebelum tulisan ini lahir, organisasi yang tergolong ke dalam jenis pecinta alam bahkan perorangan tentunya sudah pernah dan berkali-kali melakukannya. Tapi, belum familiar dalam pandangan masyarakat umum seperti saat ini.

Kegiatan yang tergolong ekstrim ini menjadi 'wah' di kalangan anak muda saat film bertema pendakian di salah satu gunung tertinggi di Indonesia, Pulau Jawa ditayangkan. Banyak yang terinspirasi setelah menontonnya. Katanya, ingin mencoba "menaklukkan" gunung, hih. Manusia super.

Orang-orang mulai berbondong-bondong mendaki gunung yang terdekat. Ada yang jadi punya hobi baru, ada yang hobinya pindah haluan, ada yang jadi punya hobi. Beli perlengkapan naik gunung, sewa peralatan, pinjam ini itu ke teman. Dan, dari sinilah tabiat pendaki alay itu muncul.

Mengapa ada istilah pendaki alay? Memang, ke-alay-an mereka bukan sepenuhnya disebabkan oleh penampilan yang tidak sesuai dengan medan dan kondisi di lapangan. Tapi, ada hal lain. Menurut saya, mereka yang disebut alay saat berada di alam bebas adalah mereka yang kepalanya hanya berisi tujuan untuk update feed di media sosial 'tok'. Tidak lebih, tidak kurang.

Oleh karenanya, wajar saja bila mindset alay tersebut menular menjadi perilaku tidak terpuji dan membawa bermacam kebiasaan buruk dalam kehidupan sehari-harinya ke gunung.


1. Menambah Sampah

Kebiasaan buruk yang satu ini adalah hal yang paling umum terjadi. Jangankan di kota, di gunung saja banyak orang yang buah sampah sembarangan. Kemasan makanan dan minuman instan bertebaran.

Kalau sekiranya tak mampu mengurangi sampah di gunung, sebaiknya jangan menambah. Rata-rata orang menginginkan pemandangan yang indah saat bepergian ke gunung. Tapi nyatanya, menjaga kebersihan saja tidak mau tahu.


2. Vandalisme

Mereka adalah orang-orang yang merias benda tanpa didasari bakat. Batu, pohon dan media lainnya menjadi sasaran semburan cat semprot dan coretan tipe-x yang "disalahgunakan", membuat keindahan itu berkurang.

Bukanlah hal yang hebat bila nama-nama tertulis di sana. Coretan-coretan itu tidak akan pernah menjadi prasasti dan tidak akan ada yang mau memandangnya sebagai sebuah sejarah.


3. Memetik Edelweis

Edelweis adalah salah satu flora yang terancam kepunahannya dan dilindungi oleh Undang-undang. Sanksinya berat terhadap pelaku yang dengan sengaja memetiknya.

Bunga ini tidak dapat ditemukan di setiap gunung, hanya di ketinggian tertentu saja. Banyak orang yang minim edukasi tentang kelangkaan jenis bunga ini. Saking uniknya, ada saja yang dengan tidak segan untuk memetik dan merasa bangga memilikinya.

Memang, pendaki yang datang ke gunung-gunung yang ditumbuhi edelweis akan diberikan arahan dan peringatan tentang keberadaan jenis bunga yang satu ini. Namun, orang berkepala batu tidak akan pernah mengindahkannya.


4. Berisik di Jam Tidur

Tidak ada larangan membawa alat musik, speaker active, bahkan menggelar konser sekalipun di gunung. Tentunya apabila ada yang mau dan mampu.

Yang jadi permasalahan adalah saat sekelompok orang ini bernyanyi dan bermain gitar atau memutar musik dengan volume yang keras di area camp "saat jam tidur".

Argumen ini mengecualikan apabila hanya sekelompok itu saja yang berkegiatan di campground (tidak ada tim lain) karena ceritanya akan berbeda. Ini tentang bising yang tidak tepat waktu.

Semua orang pasti lelah saat melakukan trekking berjam-jam dan ingin beristirahat. Membuat orang lain merasa nyaman disekitar kita adalah hal yang penting. Respect-lah terhadap pendaki lain, karena gunung bukanlah tempat mencari sensasi.


5. Ranjau

Di hutan dan gunung memang tidak ada wc dan terkadang sulit untuk memperoleh air bersih. Tapi, membuang ranjau di jalur pendakian bukanlah hal yang bijak, bahkan di dekat sumber air. 

Tidak ingin berlama-lama membahas ranjau.


6. Mesum

Banyak orang menganggap gunung adalah tempat yang bebas untuk berekspresi, berbuat apapun, termasuk perbuatan mesum di dalam dan luar tenda. Orang-orang seperti ini adalah manusia yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

Kantong tipis dan ingin puas maksimal. Tidak perlu bayar uang penginapan, cukup bawa tenda--minimal sewa. 


Di gunung, kamu adalah tamu. Percaya atau tidak, di gunung tidak pernah lepas dari adanya kepercayaan masyarakat setempat tentang pantangan-pantangan yang haram untuk dilakukan saat berkunjung.

Di mana langit dipijak, disitu langit dijunjung. Meskipun tidak masuk akal, sebaiknya kamu mematuhi sebelum kejadian yang tidak kamu inginkan terjadi. Bila perlu, tanyakan apabila petugas lokal (mungkin) lupa memberitahu, tapi ini jarang terjadi.